JARIMAH ZINA DI ACEH: Problematika dan Solusinya

9 02 2011

Muhammad Yusran Hadi

Abstrak
Zina dinyatakan oleh agama Islam sebagai perbuatan melanggar hukum yang tentu saja dan wajar diberikan hukuman maksimal, mengingat akibat yang ditimbulkannya sangat buruk. Hubungan bebas (free sex) dan segala bentuk hubungan kelamin lainnya di luar ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam keutuhan masyarakat di samping sebagai perbuatan yang sangat nista. Zina adalah penyebab timbulnya berbagai jenis penyakit, di antaranya penyakit kelamin yang mematikan yang di sebut HIV/AIDS (Human Immunodefienscy Virus/Acquire Immune Defisiency Syindrome). Oleh karena itu, zina dianggap sebagai penyakit sosial yang sangat berbahaya. Untuk memberantasnya hanya ada satu jalan yaitu memberantas segala hal yang bisa menumbuhkan bibit perzinaan, di samping pemberlakuan Syariat Islam (hukuman had ) bagi pelakunya. Maka dalam hal ini, peran keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam mencegah maksiat ini sangat urgen dan menjadi skala prioritas.

10-Yusran-ZINA





Pengantar

9 02 2011

Jurnal Media Syari’ah edisi ini menghadirkan berbagai permasalahan, fenomena dan analisis tentang siyasah dan jinayah dalam perspektif Islam secara tajam dan kritis. Tema yang diusung ini diisi tulisan yang sangat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pelaksanaan Syari’at Islam, khususnya tentang konsep politik lokal dalam bingkai politik nasional. Artikel-artikel dalam edisi ini ditulis dan disajikan dengan baik oleh akademisi dan intelektual dalam bidangnya masing-masing, baik yang mengkaji secara normatif maupun yang mengangkat tulisannya berdasarkan temuan lapangan (hasil riset), sehingga betul-betul dapat memberikan gambaran dan ulasan yang dianggap memadai dan komprehensif tentang topik yang dikaji, sekaligus sejalan dengan dialektika siyasah dan jinayah Islam di era penerapan syari’at Islam di Aceh.

Konseptualisasi dan aktualisasi yang dikaji oleh para penulis merupakan wujud konkret dan perhatian penuh para intelektual dalam mengkritisi persoalan siyasah dan jinayah. Sepuluh artikel yang disajikan, di antaranya fokus terhadap persoalan historis, fakta dan pengalaman penerapan Syari’at Islam di Aceh; dipresentasikan oleh tulisan yang berjudul  Syari’at Islam di Aceh : Tinjauan Historis dan Filosofis oleh A. Gani Isa, Peran Perempuan dalam Syari’at Islam di Aceh dipaparkan dengan menarik oleh Agustin Hanapi, Jarimah Zina di Aceh : Problematika dan Solusinya oleh M. Yusran Hadi,  dan sebuah tulisan yang dihasilkan dari penelitian tentang implementasi qanun khalwat dengan judul Penerapan Ketentuan Pidana Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat di Aceh. Kajian tentang institusionalisasi ulama diketengahkan oleh M. Samir Fuadi dengan judul tulisannya Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Turut pula tulisan yang membahas tentang persentuhan Islam dengan perpolitikan di Indonesia yang diberi judul Islam dan Politik di Indonesia: Perspektif Sejarah oleh Dedi Sumardi dan tulisan Artikulasi Politik Islam di Era Reformasi: Tipologi Pemikiran Azyumardi Azra oleh Bukhari.

Artikel yang lebih luas lingkup pembahasannya yaitu Peranan Kerajaan Islam di Nusantara dalam Pelaksanaan Peradilan Islam ditulis oleh Muhammad Siddiq, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Filsafat dan Hukum Islam oleh A. Karim Latif, dan Prinsip Maslahah sebagai Preseden dalam Perundang-undangan Hukum Islam oleh Irwansyah.

Kesepuluh tulisan di atas  dapat menjadi sumber inspirasi untuk terus menelaah rubu’ jinayah dan siyasah, dalam ranah yuridis dan fenomena dan penerapannya secara publik maupun personal dalam kehidupan masyarakat. Jurnal ini baik dari isi maupun tampilan masih banyak kekurangan yang perlu saran untuk perbaikan, yang sangat diharapkan dari para pembaca.





Merenungi Syariat Islam di Aceh

20 01 2011

Oleh Dedy Saputra ZN

MENYIMAK pelaksanaan syariah Islam di Aceh, membuat orang-orang Aceh dan non aceh sering merasa ketakutan, beberapa teman saya dari luar aceh misalnya, seringkali mengeluh dengan penerapan syariat Islam yang dalam pandangannya cenderung dipraktekkan dengan cara-cara keras oleh masyarakat, sehingga mencerminkan wajah Islam di Aceh identik dengan kekerasan. Ketakutan tersebut kiranya bukan pula tidak beralasan. Diberbagai daerah (kabupaten/kota) pelaksanaan syariah Islam cenderung menggunakan pola-pola kekerasan dengan cara massa oleh masyarakat, naifnya pihak pelaksana syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering kita lihat dan kita baca melalui media-media lokal di Aceh.

Bukan rahasia lagi, atas nama syariat seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dari masyarakat, pelaku pelanggaran sering menerima penganiayaan, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa, bahkan sampai pada pelecehan (simak kembali pemaksaan adegan mesum di pantai lhoknga), parahnya lagi kasus Mesum tahun 2007 di Abdya yang juga berakhir dengan pembakaran rumah seorang janda yang diduga sebagai pelaku Mesum oleh warga.

Entah kita lupa atau apa, yang pasti niat dihati semua orang Aceh menginginkan Islam kaffah ada dinegeri ini, namun yang terjadi dalam pelaksanaannya justru pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya, penerapan syariat seringkali dibarengi dengan sweping yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, padahal Allah swt telah berfirman agar menyeru kejalan-Nya dengan cara ; “Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.(Al-Quran, An-Nahl;125)

Salah satu kritik penulis adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh penekanannya juga hanya pada beberapa hal, seperti yang seringkali muncul kepermukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh sebagian santri melalui sweping-sweping dijalan-jalan negara, dan café-café dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan.

Dari itu kemudia muncul pertanyaan, apakah korupsi dibenarkan dalam Islam, apakah tidak Shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam, apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran syariat tanpa adanya proses hukum dibenarkan oleh Islam, pastinya TIDAK, tetapi itu yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh. Lalu apa tindakan kita terhadap persoalan tersebut.

Sikap Fanatik Rakyat
Entah karena fanatic atau apa, yang pasti sebagian besar orang Aceh sangat membenci penzina dan perempuan-perempuan yang memperlihatkan auratnya, padahal sipembenci sendiri kadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim, bak kata pepatah aceh “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya”, lalu beginikah syariat, inikah Islam Kaffah yang kita impikan. Tidak juga mengherankan kalau kita masih mendapati orang-orang Aceh yang sudah akhil baligh belum begitu mampu membaca alquran, tidak pernah menjalankan puasa, padahal dia mengaku sebagai seorang muslim, orang-orang seperti ini tidak pernah mendapat hukuman, tetapi sudah bertindak sebagai penegak syariat dengan ikut serta dalam berbagai penangkapan atas nama syariat.

Sejenak tulisan ini mengajak kita untuk kembali merenungi penerapan syariat dinegeri tercinta ini, bukan tidak sepakat dengan penerapan syariat Islam, tetapi dengan syariat Islam yang dipraktekkan sekarang ini, menurut penulis pasti ada kesalahan, entah itu pada caranya, sosialisasi, atau pada system hukumnya. Sehingga syariat di Aceh hari ini laksana harimau lapar yang siap menerkan mangsanya, orang-orang menjadi takut, (bukan takut pada Tuhan tetapi takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri), lalu itukah yang disebut sebagai syariat yang akan menyadarkan orang?

Penutup
Penulis sendiri melihat adanya kelemahan dalam penerapan syariat Islam di Aceh, yaitu masyarakat Aceh sendiri sebagian besar belum mengerti tentang pola penerapan yang syariat yang diserukan oleh pemerintah, sehingga setiap ada pelanggaran syariat seringkali masyarakat main hakim sendiri.

Kelemahan lainnya dalam hal ini adalah kurangnya sosialisasi tentang tatacara pelaksanaan syariat Islam terhadap masyarakat, semestinya yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui dinas syariat Islam adalah melakukan sosialisasi, diskusi-diskusi rutin dengan masyarakat Aceh diberbagai pelosok, keterlibatan aktif masyarakat dalam penerapan syariat memang diperlukan tetapi tetap menempuh prosedur hukum yang berlaku sehingga niat baik menegakkan hukum Islam tidak melanggar hukum lainnya yang berlaku dinegara ini.

Merobah paradigama/persepsi masyarakat terhadap syariat Islam tentu tidak tuntas hanya dalam sekali saja melakukan sosialisasi qanun melalui media atau seminar, tetapi membutuhkan energi yang lebih besar, membutuhkan pendekatan-pendekatan lainnya yang kemudian mampu mewujudkan pemahaman masyarakat terhadap penerapan syariat itu sendiri, betapa Islam sangat santun dan menghargai hak-hak asasi manusia, setiap pelanggaran ada cara-cara penyelesaian yang terhormat melalui hukum, baik hukum yang berlaku dinegara ini maupun hukum Islam itu sendiri. Kiranya itupula yang dilakukan oleh para nabi dalam Islam didunia ini.

Persoalan lainnya yang sering menjadi kendala adalah kelemahan pada polisi syariat itu sendiri, kadangkala seringkali polisi syariat tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelaku syariat yang kuat (memiliki jabatan dan pangkat), hal ini juga yang sering menimbulkan kekecewaan masyarakat sehingga untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran, masyarakat sering melakukannya dengan cara sendiri yang kemudian baru diserahkan pada polisi syariat. Untuk itu status dan keterampilan para polisi syariat juga seyogianya menjadi renungan semua orang yang berharap menegakkan Islam Kaffah di Aceh, belum lagi masalah tidak adanya code of conduct polisi syariat.

Akhir kata pada Allah juga kita serahkan segala urusan, persoalan syariat di Aceh sekarang ini mesti mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang radikal yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin.

Disisi lain penerapan syariat Islam juga harus mampu meminimalisir upaya-upaya pemanfaatan kelompok Islam di Aceh oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kekerasan atas nama syariat yang hanya bertujuan mengacaukan kembali suasana aman di Aceh. Dan apapun kisah dan prosesnya syariat Islam di Aceh harus mampu menjadi modal dan model bagi daerah-daerah lain dengan berkonstribusi menjadi satu-satunya daerah yang dianggap berhasil menerapkan hukum syariat dalam bingkai negara hukum indonesia. Amin.

*. Dedy Saputra ZN, S.Sos.I., Alumni Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry dan Kepala Divisi Kajian dan Dokumentasi KontraS Aceh

Source: http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=3484&tit=Berita%20Utama%20-%20Merenungi%20Syariat%20Islam%20di%20Aceh





Mengupas Tiga Dalil Syariat

19 01 2011


Oleh: Nadirsyah Hosen

Belakangan ini, ada kecenderungan sebagian umat Islam menjadikan syariat Islam seolah-olah bagaikan obat antibiotik yang dapat menyembuhkan semua penyakit di setiap tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan bahwa syariat Islam itu sempurna sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai ibadah, muamalah, sampai sistem pemerintahan.

Klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Implikasinya adalah syariat islam seakan-akan tidak membutuhkan teori atau ilmu non-syariah. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah 15 abad yang lampau. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap klaim kesempurnaan syariat Islam.
Tiga Dalil

Klaim kesempurnaan di atas biasanya didasarkan pada tiga dalil. Pertama, dalam al-Maidah ayat 3, Allah telah menyatakan, “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu.”

Kalimat ini sebenarnya hanyalah penggalan ayat yang sebelumnya berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib serta larangan untuk takut kepada orang kafir. Karena itulah, konteks ayat itu menimbulkan pertanyaan atas kata “sempurna”: apakah kesempurnaan itu berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan syariat Islam?

Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari Arafah saat Rasulullah Muhammad menunaikan haji. Karena itulah, sebagian ahli tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai salat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat fathu Makkah. Dengan demikian, dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk takut kepada kaum kafir, penggalan ayat “kesempurnaan” tersebut dibaca dengan makna, “Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian.”

Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah sempurna. Sebab, ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat Quran lain yang turun, seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah.

Kedua, klaim kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada al-Nahl ayat 89, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay’i, bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alquran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar kiranya kalau ayat tersebut diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup seluruh hal.

Ketiga, dalam al-An’am ayat 38 disebutkan, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab.” Sejumlah ahli tafsir menjelaskan bahwa Alquran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Alquran, yaitu masalah-masalah akidah, syariah, dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.

Sebagian ahli tafsir lainnya menganggap kata “al-Kitab” di atas bukan merujuk pada Alquran, tetapi pada lauh al-mahfuz. Dengan demikian, segala sesuatu terdapat di dalam lauh al-mahfuz, bukan di dalam Alquran.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, Alquran sebagai sumber utama hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna.
Proporsional

Selain tiga dalil di atas yang sering dipahami secara literal dan sepotong-sepotong, kalangan yang mengklaim kesempurnaan syariat Islam juga sering alpa bahwa jumlah ayat hukum dan hadis hukum sangat terbatas. Di antara yang jumlahnya terbatas itu, hanya sedikit yang berkekuatan qath’i al-dalalah. Dan, hanya itulah yang masuk kategori syariat.

Kalau kita buka kitab fikih, hanya sekitar 20 persen yang berisi syariat. Selebihnya merupakan opini, pemahaman, interpretasi, atau penerapan (tathbiq) yang kita sebut dengan fikih. Isi fikih ini jauh lebih luas ketimbang syariat. Disadari atau tidak, ketika syariat Islam diklaim meliputi segala sesuatu, mereka merancukan antara syariat dan fikih.

Sebagai contoh, kewajiban mendirikan negara Islam tidak terdapat dalam ayat hukum dan hadis hukum secara jelas, langsung dan tegas, serta berkekuatan qath’i al-dalalah. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman ataupun interpretasi yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menolak kewajiban mendirikan negara Islam tidaklah berarti menolak syariat Islam.

Klaim kesempurnaan syariat Islam juga menimbulkan paradoks. Jika benar segala sesuatu telah terdapat dalam syariat Islam, bagaimana kita meletakkan ijtihad dalam masalah tersebut? Ijtihad justru diperlukan karena syariat Islam tidaklah “sempurna”. Masih banyak problematika umat yang tidak diatur secara tegas, pasti, dan jelas dalam Alquran dan hadis.

Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya. Celakanya, banyak kalangan yang tidak bisa membedakan penafsiran para ulama salaf dan khalaf dalam kitab fikih, kitab syarah hadis, dan kitab tafsir dengan kesucian kitab suci. Mereka menganggap bahwa penafsiran dan pemahaman itu juga termasuk kategori syariat yang tidak bisa diutak-atik.

Selama klaim kesempurnaan syariat Islam tidak didudukkan secara proporsional, umat Islam akan cenderung menolak semua ijtihad baru atau semua teori baru. Setiap terobosan baru akan dianggap mengutak-atik ajaran yang sudah sempurna. Kalau sudah sempurna, untuk apa lagi ada pembaharuan? Untuk itu, marilah kita letakkan secara lebih proporsional klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut.

Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal. **

Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=14925





Artikel

19 01 2011

perwalian





Pelanggaran Syariat Islam Aceh Memprihatinkan

19 01 2011
Banda Aceh (ANTARA News) – Wakil Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa`aduddin Djamal, mengemukakan, pelaksanaan Syariat Islam di daerahnya hingga kini masih sangat memprihatinkan, karena semakin hari semakin banyak pelanggaran syariat yang dilakukan masyarakat. 

“Saya prihatin, karena pelanggaran Syariat Islam semakin meningkat, bahkan kini mulai menjamur tempat-tempat pelacuran di Banda Aceh dan masyarakat mulai berani keluar rumah tanpa jilbab,” katanya kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat.

Seharusnya, katanya lagi, masyarakat bisa sadar dan ikhlas dalam melaksanakan Syariat Islam sebagaimana yang telah dituntun dalam Al Qur`an dan Hadist, sehingga tidak perlu lagi paksaan dan pengawasan pihak terkait seperti yang sering dilakukan selama ini.

Berdasarkan pengamatan tersebut, menurutnya, peraturan dan qanun tentang Syariat Islam memang harus dibuat untuk mengubah pola tingkat laku masyarakat seperti sekarang ini.

“Dengan adanya hukum, mau tidak mau mereka terpaksa menurutinya, sehingga menjadikan suatu kebiasaan dan dengan adanya kebiasaan diharapkan akan tumbuhnya kesadaran untuk melaksanakan syariat sepenuh hati,” ungkapnya.

Petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariah/WH) bukan hanya sebagai lambang bagi masyarakat Kota Banda Aceh, tapi mereka harus menjadi contoh teladan serta tidak perlu ditakuti seperti sekarang, sehingga penerapan nilai-nilai syariat berjalan dengan baik, katanya.

Sementara itu, secara terpisah, Kepala Dinas Syariat Islam, Alyasa` Abubakar menyatakan, hukum Islam yang sedang diterapkan di Aceh ternyata hingga hari ini masih banyak terdapat kelemahan dan harus disempurnakan lagi.

Hal tersebut, menurutnya, karena pemberlakuan Syariat Islam saat ini dianggap belum mampu menggiring para pelaku pelanggaran syariat ke pengadilan, apabila mereka sudah berada di luar Aceh.

Ia mencontohkan, salah satu kasus yang menunjukkan kelemahan dalam penerapan hukum Syariat Islam tersebut, yaitu kasus mesum yang melibatkan mantan Ketua Pengadilan Negeri Sabang, yang hingga kini kasusnya belum tuntas, karena yang bersangkutan sudah pindah ke provinsi lain.(*)

COPYRIGHT © 2007

http://m.antaranews.com





Assalamu’alaikum, Wr.Wb.

19 01 2011

Welcome in Media Syariah Online. The Real Media of  Islamic Law Faculty, IAIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh, Indonesia.